Sore itu aku pulang, pulang dengan fisik yang lelah. Pulang dengan
harapan disambut oleh hangatnya sebuah perhatian. Aku mempunyai kekasih, sebut
saja dia “sang pemilik rumahku”. Tapi entah mengapa waktu itu hati ini terasa
tidak nyaman. Ada sesuatu tentang dia yang membuatku tidak nyaman. Khawatir.
Sore itu hujan lebat mengguyur kota, jalanan licin membuatku
semakin berhati-hati dalam mengendara kendaraan. Membuatku semakin khawatir
sedang apa dia disana.
“kamu lagi ngapain sayang? Aku baru sampe rumah.” Tanyaku didalam
sebuah chatting.
“lagi ngerjain tugas sayang, dirumah sendirian :(” balasnya.
Emoticon sedih itu sontak membuatku semakin khawatir. Banyak
hal yang aku pikirkan tentangnya. Sudah makankah
dia? Sehatkah dia? Mengapa dia sendirian dirumah? Mengapa tidak pergi saja
dengan teman-temannya?
Aku seorang pemikir, pemikir yang tak bisa mengambil
keputusan. Seorang yang mempunyai banyak pertanyaan dalam sebuah keraguan.
Entah mengapa saat aku membaca chatnya, hati ini menyuruhku
untuk menghampirinya. Menemani didalam kesendiriannya. Menemani didalam
kesedihannya.
Saat itu kondisi tubuhku sedang melemah, banyak pekerjaan
untuk esok yang sedang menungguku. tidak peduli bagaimana kekacauan kondisiku
saat itu, akupun tetap bergegas menuju rumahnya. Aku membawa makanan
kesukaan kami berdua, martabak manis coklat keju langganan kami didekat
rumahnya. Banyak cerita dibalik sebuah martabak itu.
“kerjain dulu tugasmu sayang, semangat yaa. Love you!” balasku
saat sedang menunggu martabak dengan antrian yang panjang tersebut.
“makasih sayangku, kamu jangan lupa makan sama sholatnya ya.
Love you too ({})” balasnya dengan penuh perhatian itu membuatku meyakinkan
diri bahwa dia baik-baik saja.
Setelah martabak sudah aku dapatkan, sesegerapun aku menuju
rumahnya yang berada diujung dunia itu. Rumah kami berjarak dari ujung ke ujung
kota. Sejauh apapun jaraknya dia tetap menemuiku setiap jumat. Jarak tidak
memandang lelahnya perjalanan yang ditempuh. Dia tidak pernah mengeluh aku capek jemput kamu sayang, kamu pulang
sendiri aja ya, dsb.
Sesampai didepan gerbang pintu rumahnya, yang aku lihat
rumahnya sangat gelap. Lampu kamarnya padam. Mobilnya sedang tidak terparkir
seperti biasanya di garasi. Kemana dia?
Tanyaku didalam hati sambil mencoba meneleponnya.
Kepalaku penuh dengan pertanyaan. Seraya melihat rumahnya
sedang dalam kegelapan.
“halo, kamu dimana?” tanyaku via telepon.
“lagi dirumah ngerjain tugas. Kenapa?” jawabnya.
“keluar dong, aku kedinginan nih” sanggahku.
“masa sih?... iya aku keluar. Ga dingin kok yang” sanggahnya.
“mana? Aku kok ga liat kamu?” tanyaku dengan penuh
angan-angan.
“lho? Kamu dimana ini?” tanyanya.
“Di depan rumahmu.” Jawabku dengan lemas.
“lho iya kah? Aku lagi sama azza, bogi, farisqi, fherel di
stmj sma 9. Kamu kesinio” jawabnya seakan-akan tidak ada apa-apa.
“oh, enggak deh. Aku pulang aja. Banyak tugas.” Kalimat penutupku
dalam sebuah perbincangan telepon.
Aku centelkan martabak itu digerbang rumahnya. Kemudian aku
kembali pulang. You make me die a little bit inside.
Oh berarti dia sudah
ada yang menemani. Tapi bukan aku, melainkan oranglain. Oh berarti dia
baik-baik saja, jadi tak perlu lagi aku menghawatirkannya. Tapi mengapa dia
harus berbohong? Apakah aku terlalu mengekangnya? Apa ini sudah sering terjadi
saat aku tidak mengetahuinya? Berarti yang aku khawatirkan itu benar? Berarti
semua pikiran negatifku itu tepat? Allah menunjukkanku sebuah kebohongan. Mengapa
dia begitu?
Seseorang yang aku pikir mengubah hidupku menjadi lebih
berisi. Ternyata dia berbohong. Dia membohongiku dengan hal sepele.
Sama sekali aku tidak pernah melarangnmu untuk bermain
dengan siapa saja, kapan saja, kemana saja. Karena aku tahu itu sudah menjadi
karakteristikmu. Itu sudah menjadi bagian hidupmu. Aku mencoba beradaptasi
dengan kehidupanmu. Karena itu sudah resikoku.
Kau tahu sayang? Badai ini sangat kuat. Badai ini dapat
memisahkan kita. Aku mencoba menggenggammu supaya kamu tidak terlepas. Apakah sakit
genggamanku? Ataukah kurang erat genggamanku? Sayang kurang bersabarkah aku? Jawablah.
Beri aku jalan. Jalan menuju pikiranmu.
Sayang, sebenarnya cinta kita ini besar, lebih tinggi dari selasar. kita pernah saling menginatkan, mengikuti setitik demi setitik cahaya hati yang menyerupai menara suar.
Seingat aku, sayang kita ini agung. lebih indah dari lembayung. kita mencari lautan baru untuk dilarung. akankah berakhir terkatung-katung? akankah kitasaling menyelamatkan dari gelapnya palung?
Aku memang selalu lemah tentang percintaan. dan aku selalu lemah tentang kamu. tentang kamu yg selalu benar dengan maha pemikiranmu.